Cari Artikel Lainnya

Selasa, 09 September 2014

Penting, Seni Budaya dalam Kurikulum 2013

Itulah mengapa pelajaran seni Budaya tidak dihapus di Kurikulum 2013, soalnya pelajaran ini penting untuk memanusiakan manusia, banyak nilai-nilai keindahan yang dapat mengindahkan hati manusia diperoleh dari pelajaran seni budaya, padahal banyak pelajaran lain yang dihapus, mungkin tidak dihapus tapi diinkludkan ke mata pelajaran yang lain, jadi mengapa belajar seni budaya?. Ini berkaitan dengan teori otak kiri dan otak kanan dari Roger Spery, itu juga berkaitan ditemukannya multiple kecerdasan dari Prof. Howard Garner yang sekarang perlu dimiliki oleh semua orang. Bahwa otak kanan erat kaitannya dengan Seni, bahwa punya kemampuan seni juga termasuk salah satu kecerdasab yang penting. Bahwa tidak ada produk karya manusia di era modern ini yang tidak memerlukan sentuhan seni, misalnya membuat HP selalian pakai logika juga pakai seni, agar HP bentuknya indah namun fitur-fiturnya menawan pula. Seni budayalah yang menjadi perantara untuk mengembangkan otak kita. Seni Budaya sebagai suatu ilmu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan berkreasi seni serta mengapresiasikan seni dengan cara mengilustrasikan pengalaman pribadi, menggali/mengeksploitasi rasa dan melakukan pengamatan proses, dan teknik berkarya sesuai dengan nilai budaya dan keindahan yang ada dilingkungan masyarakat. Pendidikan Seni Budaya diberikan di sekolah karena keunikan perannya yang tak mampu diemban oleh mata pelajaran lain. Keunikan tersebut terletak pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan: “belajar dengan seni,” “belajar melalui seni” dan “belajar tentang seni”.Pendidikan Seni Budaya memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan mancanegara. Hal ini merupakan wujud pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk. Pendidikan Seni Budaya memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas (AQ), kreativitas (CQ), spiritual dan moral (SQ). Bidang seni rupa, musik, tari, dan teater memiliki kekhasan tersendiri sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing. Dalam pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang tertuang dalam pemberian pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Semua ini diperoleh melalui upaya eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.Mata pelajaran Seni Budaya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Untuk mengembangkan kerja otak sebelah kanan 2. Untuk menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan 3. Untuk mensinergikan kerja otak kiri dibantu dengan kerja otak kanan 4. Untuk mengembangkan multi kecerdasan 5. Memahami konsep dan pentingnya seni budaya 6. Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya 7. Mengekspresikan kreativitas melalui seni budaya Mata pelajaran Seni Budaya meliputi aspek-aspek sebagai berikut.1. Seni rupa, mencakup keterampilan tangan dalam menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran, cetak-mencetak, dan sebagainya2. Seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal, memainkan alat musik, apresiasi karya musik 3. Seni tari, mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan bunyi, apresiasi terhadap gerak tari 4. Seni teater, mencakup keterampilan olah tubuh, olah pikir, dan olah suara yang pementasannya memadukan unsur seni musik, seni tari dan seni peran. Dengan agama hidup menjadi terarah, dengan ilmu hidup menjadi mudah dan dengan seni hidup menjadi indah. Dengan memperhatikan kata bijak yang terahir itu, jelaslah seni budaya membuat hidup kita menjadi indah, menyaukai keindahan yang dampaknay bagi peminat seni adalah mereka suka pada kedamaian, sehingga hidup bisa bertoleransi dengan sesamannya. Tapi yang peling jelas dengan seni budaya ini bisa membuat kita bisa berpikir kreatif.

Rabu, 03 September 2014

Getah Nyatu, Karya Seni Khas Kalimantan Tengah

epulauan Nusantara dikenal dunia karena didiami oleh bermacam ragam suku bangsa asli yang cukup heterogen. Kepulauan Nusantara dihuni oleh ratusan suku bangsa asli Indonesia. Keragaman suku bangsa itu telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang kaya akan budaya. Ketersediaan sumber daya alam yang cukup melimpah di tanah air dipadukan dengan seni budaya yang sangat beragam telah menghasilkan berbagai produk kerajinan bernuansa etnik yang sangat kaya nilai seni. 20080620 Salah satu kekayaan budaya itu adalah kerajinan getah kayu nyatu yang berasal dari pohon kayu nyatu. Pohon nyatu sendiri merupakan tanaman eksotis Kalimantan Tengah yang hanya tumbuh di dua wilayah tertentu di provinsi tersebut, yaitu di Kabupaten Pangkalan Bun dan di Kecamatan Bukit Tangkiling, Kota Palangkaraya. Getah kayu nyatu selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat adat suku Dayak di wilayah tersebut sebagai bahan baku untuk pembuatan kerajinan khas suku Dayak, seperti berbagai bentuk perayu, patung masyarakat adat suku Dayak dan berbagai bentuk kerajinan lainnya. Kini kerajinan getah nyatu telah menjadi salah satu ciri khas provinsi Kalimantan Tengah yang dikembangkan oleh masyarakat dengan dukungan Pemda setempat menjadi barang souvenir yang sangat unik dan menarik dari wilayah tersebut. Sejumlah kelompok usaha masyarakat adat suku Dayak setempat kini mengusahakan kerajinan kayu nyatu tersebut dan telah berkembang menjadi salah satu sektor usaha yang cukup menjanjikan bagi perkembangan ekonomi daerah. Salah seorang pengusaha kerajinan getah nyatu dari Palangkaraya yang sudah berhasil mengembangkan kerajinan tersebut menjadi salah satu produk kerajinan yang cukup dikenal masyarakat di tanah air hingga mancanegara adalah Katutu Tulus Galing dengan kelompok usahanya yang diberi nama Kahayan Jawed (Kahayan diambil dari nama salah satu sungai di Kalteng, yaitu sungai Kahayan, sedangkan Jawed dalam bahasa Indonesia berarti anyaman). 200806201 Menurut Katutu, pohon nyatu selama ini hanya ditemukan tumbuh di areal berawa di Kabupaten Pangkalan Bun dan di Kecamatan Bukit Tangkiling, Kalimantan Tengah. Tanaman yang memiliki pertumbuhan relatif cepat tersebut selama ini tidak ditemukan di wilayah lain di Indonesia. Dalam kurun waktu hanya enam bulan tanaman nyatu bisa tumbuh hingga mencapai 8 meter. Umur enam bulan tersebut biasanya menjadi patokan bagi para perajin getah kayu nyatu untuk memanen pohon dengan cara mengambil getahnya. Dalam proses untuk mendapatkan getah, kata Katutu, para perajin getah nyatu biasanya menebang pohon nyatu. Kemudian batang pohon nyatu di kuliti untuk diambil bagian kulitnya. Selanjutnya, kulit kayu nyatu itu direbus di dalam air mendidih yang sebelumnya telah dicampur dengan minyak tanah. Proses perebusan tersebut dilakukan untuk memisahkan (mengekstrak) getah dari kulit kayu nyatu. Dalam keadaan air rebusan yang masih mendidih, getah pohon nyatu yang sudah terpisah dari kulit pohon itu kemudian diambil untuk selanjutnya direbus kembali untuk memisahkan getah dari sisa-sisa minyak tanah. Getah pohon nyatu yang sudah terpisah dari minyak tanah itu kemudian dipilah-pilah untuk proses pewarnaan. Untuk memberikan warna warni pada getah, Katutu dan para perajin getah nyatu di Kalteng biasanya menggunakan bahan pewarna alami yang diambil dari tanaman asli di Kalteng. Proses pewarnaan dilakukan dengan cara merebus getah nyatu itu bersama-sama dengan bahan tanaman sumber pewarnaan alam. Biasanya pewarna alami yang dipakai terdiri dari empat jenis warna, yaitu hitam, kuning, merah dan hijau. 200806202 Getah nyatu yang sudah diberi bahan pewarna alam itu kemudian diambil dan dalam keadaan masih panas (dalam rebusan air mendidih) langsung dibentuk dan dianyam menjadi berbagai bentuk kerajinan getah nyatu. Proses pembentukan getah nyatu harus dilakukan dalam keadaan masih panas karena dalam kondisi tersebut getah nyatu masih dalam keadaan meleleh sehingga mudah dibentuk. Sedangkan kalau sudah dingin, getah nyatu sulit dibentuk karena sudah berada dalam keadaan beku. Menurut Katutu, kerajinan anyaman getah nyatu umumnya mengambil bentuk perahu tradisional Dayak yang dilengkapi dengan awak dan berbagai asesorisnya. Bentuk perahu tersebut menggambarkan cerita tersendiri yang diambil dari cerita asli masyarakat suku Dayak di Kalteng. Sebagaimana diketahui di Kalteng sendiri terdapat sejumlah suku Dayak, diantara-nya Dayak Manyan, Kapuas, Bakumpai, Katingan, Kahayan dan Siak atau Ngaju. Bentuk perahu yang biasanya dipergunakan dalam kerajinan anyaman getah nyatu umumnya dicirikan dengan bentuk kepala naga dan kepala burung antang (elang) yang terletak di bagian depan perahu. Perahu yang mengambil bentuk kepala naga biasanya dipakai untuk menunjukkan perahu perang dan perahu untuk upacara adat Tiwah (memindahkan kepala leluhur dalam agama Hindu Kaharingan), namun bentuk kepala naga pada perahu perang dan perahu untuk upacara adat Tiwah sedikit berbeda. Sementara perahu yang mengambil bentuk kepala elang biasanya menggambarkan perahu berburu. 200806203 Perahu perang berkepala naga juga memiliki posisi kepala naga yang berbeda. Posisi kepala naga yang mendongak ke atas menggambarkan bahwa perahu tersebut telah berhasil memenangkan peperangan. Posisi kepala naga lurus menggambarkan perahu sedang menuju ke arah peperangan. Sedangkan posisi kepala naga menunduk ke bawah menggambarkan perahu sedang dalam perang. Selama ini Katutu memproduksi kerajinan anyaman getah nyatu hanya berdasarkan pesanan. Namun demikian setiap bulannya Katutu tidak pernah sepi dari pesanan. Rata-rata setiap bulannya Katutu bersama kelompok usaha kerajinannya yang terdiri dari 12 orang sanak keluarganya mampu memproduksi 200-300 unit kerajinan anyaman nyatu berbagai ukuran. Katutu biasanya menjual kerajinan anyaman getah nyatu itu dengan harga yang bervariasi tergantung kepada ukuran dan bentuk/model kerajinannya. Harga kerajinan anyaman getah nyatu itu berkisar mulai dari Rp 60.000 hingga jutaan rupiah per unitnya. Untuk melindungi kerajinan anyaman getah nyatu dari klaim illegal atau pemalsuan dan penjiplakan, pada bulan November 2007 lalu Katutu yang dibantu oleh Gubernur Kalteng Teras Narang telah berhasil mendaftarkan hak patennya kepada ke Ditjen HKI Departemen Hukum dan HAM di Jakarta. Sumber : Majalah Kina (No.1-2008)

Minggu, 31 Agustus 2014

Macanan Kaduk, Kesenian Tertua Jember Terancam Punah

Jember: Macanan Kaduk atau Harimau Karung, kesenian asli Jember, Jawa Timur, kini terancam punah. Seni pertunjukan gabungan tari Barongsai dari Cina dan gerakan tari Reog Ponorogo termasuk sebagai kesenian tertua di Jember. Sesuai dengan namanya Macanan Kaduk, seni tari yang didominasi replika seekor harimau terbuat dari rangkaian bambu dan sejumlah bulu imitasi dari bahan kain karung goni atau plastik. Sedangkan kepala harimau terbuat dari kayu rimba campur yang dipilih lebih lunak, sehingga lebih mudah dibentuk dan diukir serta saat diberi pewarna tidak cepat pudar. Rangkaian anatomi tubuh harimau dibuat semacam lingkaran dari bambu jenis apus yang berfungsi sebagai rongga perut harimau. Rongga yang memiliki kelenturan hingga 180 derajat ini berguna saat melakukan gerakan sang harimau memakan anak-anak dan mengeluarkannya lagi. Gerakan ini adalah puncak dari Macanan Kaduk yang paling digemari penonton. Biaya membuat sebuah replika harimau berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu, dengan berat rata-rata 25 kilogram. Ketika adegan memakan anak-anak, beban Macanan Kaduk akan terasa lebih berat dari bobot sebenarnya. Tak heran jika Macanan Kaduk yang dimainkan oleh dua orang ini hanya tampil paling lama 30 menit. Grup kesenian ini biasanya beranggotakan 40 orang, termasuk pemusik dan penyanyi. Biasanya, kesenian perpaduan tradisional Cina dan Ponorogo tersebut hanya dipentaskan pada malam hari. Meski terbilang kesenian langka dan tertua, nasib kesenian Macanan Kuduk sangat memprihatinkan. Bahkan sejak 10 tahun silam, telah dianggap punah. Pasalnya, selain tak ada regenerasi, juga karena tidak ada perhatian dari Pemerintah Kabupaten Jember untuk membenahi manajemen pementasan yang masih konservatif.(DEN/Christianto Raharjo)Liputan6.com

Kesenian Badud Hampir Punah

PELAKU seni sedang mempertunjukkan kesenian Badud, di Objek Wisata Guha Sinjang Lawang di Dusun Parinenggang, Desa Jadimulya, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Pangandaran belum lama ini. Kesenian khas Pangandaran asal Dusun Margajaya, Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang kini hampir punah. Pemerintah berupaya untuk tetap melestarikan, dan mempromosikannya.* PARIGI, (PRLM).- Karena belum adanya regenerasi, kesenian Badud sudah hampir punah. Bahkan, sangat jarang sekali ditemukan. Di tempat asalnya saja, jarang sekali pertunjukan kesenian tersebut digelar. Namun, saat ini para pelaku seni, masyarakat, dan pemerintah setempat, berkomitmen untuk terus melestarikan, mengembangkan, menjaga, dan mempromosikan kesenian tersebut. Sebab, jika tidak demikian, maka seni budaya Badud diambang kepunahan. Kesenian asli daerah Kabupaten Pangandaran ini hampir punah, dan sangat langka. Seni tersebut, dapat dikatakan berbeda dengan kesenian yang ada pada umumnya. Kesenian Badud, adalah seni yang menceritakan tentang kegiatan aki dan nini pakebonan (kakek dan nenek yang berkegiatan di kebon). Mereka bertani dan bercocok tanam di hutan. Selain ada aki dan nini, ada pula pemain yang berperan sebagai binatang lengkap dengan jubah dan topeng. Seperti karakter monyet, lutung, babi hutan, dan harimau. Pemeran aki dan nini pun mengenakan topeng, dan berbusana jaman dahulu. Bagi siapapun yang melihat, awalnya pasti akan tertawa dan terhibur. Namun, untuk pemeran binatang mereka tampil dalam kondisi kesurupan. Mereka dikendalikan oleh seorang pawang yang ada di tengah-tengah para pemain. Pada awal pertunjukan, diawali oleh seni musik dogdog dan angklung. Selain memainkan alat musik, mereka pun melakukan gerakan-gerakan yang membetuk formasi berbaris, maju dan mundur serta beputar. Kesenian Badud sendiri berpusat dan berasal dari Dusun Margajaya, Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang. Awal mulanya, kesenian itu dilakukan ketika mengiringi orang-orang yang membawa hasil panen dari sawah ke lumbung padi. Dikatakan Didin Jentreng salah seorang Budayawan Kabupaten Pangandaran seni Badud merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Pangandaran yang hampir punah. Padahal kesenian tersebut memiliki nilai seni yang tinggi dan mempunyai ciri khas. "Bahkan, ini dapat menjadi icon, dan daya tarik di sektor pariwisata. Selain itu pula, dengan dikembangkan dan dilestarikan, maka Badud akan tetap ada," ucapnya Rabu (13/8/2014). Dikatakan Didin, seni Badud dahulu ramai dimainkan pada era tahun 1950-an. Hampir setiap saat, masyarakat dapat menikmati seni pertunjukan itu. Akan tetapi, saat ini paling banter juga digelar pada saat acara hajatan dan khitanan saja. "Kami berupaya untuk terus menjaga dan melestarikan Badud. Juga menggebyarkan kembali Badud," katanya. (Mohamad Ilham Pratama/A-147)***

Selasa, 26 Agustus 2014

Seni Budaya Maluku Utara

Dalam dunia internasional provinsi Maluku lebih di kenal sebagai Moluccas. Ibukota Maluku adalah Ambon. Pada tahun 1999 provinsi Maluku di mekarkan menjadi 2 provinsi menjadi Maluku dan Maluku Utara yang beribukota di Sofifi. Seperti apa kebudayaan daerah yang ada di Maluku? Baca juga Budaya Maluku Utara Seni Kebudayaan Tradisional Daerah Malut. Yuk kita kenali Seni dan Kebudayaan Daerah Maluku yang menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia Alat Musik Daerah Maluku : Tifa merupakan alat musik yang paling terkenal dari Maluku. Alat musik ini bentuknya menyerupai kendang dan terbuat dari kayu yang di lubangi tengahnya. Ada beberapa macam jenis alat musik Tifa seperti Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas. Alat musik lainnya yang berasal dari Maluku adalah Toto Buang dan Kulit Bia. Alat musik ini merupakan serangkaian gong-gong yang kecil bentuknya dan biasanya di aruh pada sebuah meja dengan beberapa lubang sebagai penyanggah. Sedangkan alat musik Kulit Bia merupakan alat musik tiup yang terbuat dari Kulit Kerang. Tari Cakalele merupakan nama tarian yang paling populer dan terkenal dari Maluku. Taian ini menggambarkan Tari perang. Tari ini sering di pentaskan dan di peragakan oleh para pria dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai). Nama tarian lain yang berasal dari Maluku adalah tari Saureka-Reka dan tari Katreji. Tari Katreji dimainkan oleh wanita dan pria. Saat memainkan Tarian ini diiringi berbagai alat musikseperti biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa dan bas gitar. Bahasa Daerah Maluku Karena provinsi Maluku memiliki banyak sekali pulau, di sini juga terdapat berbagai macam bahasa. Tapi bahasa yang dipakai di Maluku adalah jenis Bahasa Melayu Ambon, yang masih satu dialek bahasa Melayu. Berikut ini nama-nama bahasa yang berasal dari Maluku : Bahasa Seti ada di daerah suku Seti, di Seram Utara dan Telutih Timur Bahasa Alune ada di daerah Seram Barat Bahasa Nuaulu dipakai oleh suku Nuaulu di Seram selatan; antara teluk El-Paputih dan teluk Telutih Bahasa Wamale ada di daerah Seram Barat Sumber : Indonesia.Travel dan Wikipedia Indonesia http://budaya-1992.blogspo

Senin, 18 Agustus 2014

Musik Tradisi Pulau Nusa Tenggara Timur

Kiriman: I Gde Made Indra Sadguna, Alumni ISI Denpasar Pengantar Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia menyimpan berbagai macam kekayaan kesenian. Tiap pulau dari Sabang hingga Merauke memiliki keunikannya tersendiri. Salah satu pulau di bagian timur Indonesia yang memiliki alat musik yang khas terdapat di Pulau Nusa Tenggara Timur. Jenis alat musik yang cukup dikenal di daerah tersebut adalah alat musik Sasando. Perangkat musik ini tergolong dalam perangkat dawai petik. Hal ini disebabkan karena perangkat ini mempergunakan dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Walaupun dalam permainan musik ini menggunakan vokal, akan tetapi tetap digolongkan dalam perangkat dawai petik sebab kategori vokal nanti akan menjelaskan musik-musik yang memang khusus suara manusia saja tanpa melibatkan instrumen dan jenis-jenis instrumen yang mengiringi dan menjadi bingkai dari lagu vokal itu. Perangkat Musik Sasando Perangkat musik Sasando merupakan salah satu jenis alat musik yang cukup dikenal di Pulau Nusa Tenggara Timur. Setidaknya ada dua jenis Sasando, yaitu yang berasal dari daerah Rote dan Sabu. Kedua daerah tersebut merupakan daerah yang kering dan gersang. Hanya bisa ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan saja, salah satunya adalah pohon lontar. Oleh masyarakat setempat, pohon lontar banyak dimanfaatkan. Buahnya dibuat gula dan minuman, daunnya dapat dibuat sebagai atap, tempayan, ember, dan juga salah satu yang menarik adalah dibuat sebagai resonator dari Sasando itu sendiri. Daun lontar yang telah cukup berumur akan dimasak untuk membuat resonator Sasando. Daun akan diikatkan satu sama lainnya. Rangkaian dari daun-daun tersebut akan menghasilkan bentuk menyerupai separo bejana yang tengahnya menggembung seperti periuk. Di tengah rangkaian daun tersebut akan dipasangkan sebuah bambu atau kayu yang panjangnya sekitar 40cm, dengan diameter selitar 11cm, dan dipasangkan dengan sepuluh hingga 12 dawai. Agar dapat berbunyi, setiap dawai diberikan senda yang terbuat dari kayu atau bambu dan berfungsi untuk menegangkan dan mengangkat dawai. Secara harafiah, Sasando menurut asal katanya dalam Bahasa Rote (sasandu), berarti bergetar atau berbunyi. Mengenai awal kemunculan alat musik Sasando belum dapat diketahui secara pasti, akan tetapi ada sebuah legenda yang menceritakan mengenai kemunculan alat musik Sasando tersebut. Konon ada seorang pemuda bernama Sangguana di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Suatu hari ia menggembala di Padang Sabana. Ketika merasa lelah dan mengantuk, ia pun tertidur di bawah pohon lontar. Dalam tidurnya, ia bermimpi memainkan sebuah alat musik misterius. Ketika terbangun ia masih mengingat nada-nada yang dimainkannya. Akhirnya berdasarkan mimpi tersebut, Sangguana memutuskan untuk membuat sebuah alat musik dari daun lontar dengan senar-senar di tengahnya. Secara umum, Sasando berfungsi sebagai sarana hiburan masyarakat. Musik merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana rekreasi dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Umumnya masyarakat Indonesia sangat antusias dalam menonton pagelaran musik. Jika ada perunjukan musik di daerah mereka, mereka akan berbondong- bondong mendatangi tempat pertunjukan untuk menonton. Unsur Musikal Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada dua jenis Sasando yang berkembang yaitu di daerah Rote dan Sabu. Ada beberapa perbedaan dan persamaan yang dapat ditemui pada alat musik Sasando di kedua daerah tersebut. Adapun persamaannya adalah sama-sama mempergunakan instrumen Sasando dan dalam pementasannya diiringi oleh vokal. Perbedaannya mencakup beberapa hal seperti Sasando Rote mempergunakan sebuah tambur kecil sedangkan pada Sasando Sabu tidak mempergunakan tambur. Tambur dimainkan dengan menggunakan alat pemukul kecil. Petikan dari Sasando Rote mempunyai pola yang sama secara terus – menerus, dengan iringan vokal dari penyanyi akan tetapi tidak terikat dengan melodi Sasando. Pada Sasando Sabu yang tidak menggunakan tambur, petikan dawainya mempunyai variasi yang lebih kompleks dari Sasando Rote. Selain itu, petikan Sasando mengikuti vokal dari penyanyi. Sehingga antara petikan Sasando dengan vokal sangat terkait. Musik Tradisi Pulau Nusa Tenggara Timur, selengkapnya Untuk Memberikan komentar gunakan Fasilitas Forum > Berita. Fasilitas ini dapat diakses melalui alamat: http://forum.isi-dps.ac.id

Selasa, 12 Agustus 2014

Cerita Wisata Utama (P. Komodo)

Komodo itu pandai menipu. Saat diam, biawak raksasa ini seperti hewan lemah, padahal itu taktiknya untuk menyergap satwa lain dan manusia yang lengah. Seperti apa sifat dan prilaku aslinya? Simak profil sang predator berdasarkan pengamatan TravelPlusIndonesia (TPI) secara langsung di Pulau Komodo. Komodo satu-satunya spesies terakhir dari keluarga monitor lizard yang mampu bertahan hidup dan berkembang. berdasarkan leaflet TNK, satwa berdarah dingin ini ditemukan pertama kali oleh seorang Belanda bernama JKH Van Steyn tahun 1911. Baru terkenal di dunia ilmu pengetahuan sejak 1912, tepatnya setelah peneliti dan ahli biologi, Mayor PA Ouwens memberikan julukan dalam tulisan berjudul “On a Large Varanus Species from the Island of Komodo” dengan nama ilmiah Varanus komodoensis. Untuk mengetahui prilaku komodo sesungguhnya, TravelPlusIndonesia (TPI)mengamatinya langsung di habitatnya, Pulau Komodo. Ternyata komodo punya trik sendiri untuk mengelabui mangsanya. Dia pura-pura diam seperti sebatang kayu lapuk. Gerakannya lamban dan malas. Tapi setelah mangsanya lengah, dia segera menyergapnya dengan mulutnya yang moncong atau dengan bantuan ekornya dengan cara menyabet mangsanya sekeras mungkin. Kelebihan lain, predator licik ini dianugerahi penciuman yang sangat tajam, terutama bila mencium amis darah dan bau bangkai meski berjarak 2 Km. Di habitanya, komodo lebih suka menyendiri (soliter). Sejak kecil, anak komodo dibiarkan mencari makan sendiri oleh induknya. Jarang sekali berkelompok kecuali di Banu Nggulung. Beberapa komodo di tempat ini malas mencari makan sendiri akibat terbiasa diberi umpan (feeding) gratis dari pengunjung, akhirnya populasi rusa, babi hutan, dan kerbau liar kian bertambah hingga mengganggu keseimbangan alam. Beberapa tahun belakangan, acara feeding dilarang. Data inventarisasi komodo Taman Nasional Komodo (TNK), di Pulau Komodo jumlahnya sekitar 1.700 ekor, di Pulau Rinca 1.300, Gili Motang 100, dan 30 ekor di pulau-pulau kecil lain. Diperkirakan masih ada sekitar 2.000 ekor lagi yang terpencar di Flores, yakni di pesisir Barat Manggarai dan pesisir Utara Kabupaten Ngada serta beberapa tempat di Kabupaten Ende. Bahkan hasil penelitian Auffenberg dari Amerika Serikat, komodo ditemukan sampai Timur Flores. Masyarakat Pulau Komodo dan sekitarnya menyebut komodo, ora. Tapi warga pesisir Utara Flores dan Ende, memanggilnya mbou. Di Pulau Rinca, perilaku komodo sedikit lebih ganas. Kulitnya kekuningan dan lebih bersih. Buaya Darat Menurut salah seorang peneliti khusus komodo yang TP temui di Pulau Komodo, musim kawin komodo terjadi pada Juli-Agustus. Jumlah jantan dan betina 4 berbanding 1. Lantaran tak seimbang sering terjadi perkelahian antar jantan untuk memperebutkan betina hingga terluka bahkan tewas. Komodo jantan sukar ditemukan saat musim kawin, sebab sibuk mengejar betina. Usai kawin, sang betina akan bertelur lalu menyimpannya di lubang. Betina bertelur 20-50 butir dan menjaganya selama 7 bulan. Bentuk telurnya oval, berwarna putih dengan panjang 9 cm, lebar 6 cm dan beratnya 105 gram. Setelah menetas, panjang rata-rata 18 inci atau 45 cm. Yang dewasa sekitar 2 meter, pernah juga dijumpai komodo sepanjang lebih dari 3 meter. TP pun mengamati bayi komodo. Kulit bayi komodo berwarna kekuningan. Umur 10 bulan coklat muda. Usia 20 bulan ke atas berubah menjadi agak hitam, lalu coklat gelap setelah dewasa. Anak komodo langsung pandai memanjat pohon untuk mencari makan, sekaligus menghindar dari ancaman komodo dewasa. Santapan kegemarannya aneka serangga, cecak dan tokek. Setelah dewasa, lebih suka memangsa rusa, babi hutan, kerbau dan telur burung Gosong. Komodo dewasa tak bisa lagi memanjat pohon lantaran keberatan badan. Selain suka memangsa hewan lain termasuk manusia, komodo dewasa juga suka menyantap anaknya (kanibal). Areal perburuan komodo dewasa di lokasi yang sering dilalui hewan dan manusia. Komodo menyukai semak dataran rendah, berbatasan dengan savana. Terkadang ada di dataran tinggi sekitar 400-600 meter dpl. TP juga melihat komodo berenang layaknya seokor buaya terutama jika melihat bangkai ikan besar yang mengapung di perairan. Wajar penduduk setempat menjulukinya buaya darat. Berdasarkan pengamatan TP secara langsung di Pulau Komodo, predator yang dilindungi undang-undang seperti halnya Harimau Sumatera ini meski bukan termasuk satwa penyerang yang ganas, namun tetap berbahaya. Apalagi bila berada di TNK, di habitatnya itu komodo sebagai raja. Lengah sedikit, Anda bisa jadi mangsanya. Cara yang amat saat berada di habitanya, Anda harus tetap waspada dan ditemani jawagana bila ingin melihat predator ini atau hendak berpergian ke obyek-obyek lainnya. Sebab bagaimanapun melihat komodo di habitatnya, di pulau Komodo dan pulau-piulau lain di TNK jelas jauh lebih mengasyikkan dibanding di kebun binatang. Atmosfir dan panorama yang bakal Anda dapat pasti lebih seru, menawan, dan mengesankan. Bila Anda yakin bahwa sang predator yang kanibal ini menjadikan Pulau Komodo dan pulau-pulau lain di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) begitu berati dan berbeda dibanding kawasan lain, sebaiknya Anda memilih Taman Nasional Komodo agar terpilih sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia baru versi Yayasan New 7Wonders. Caranya dengan melakukan vote di http://www.new7wonders.com/nature/en/vote_on_nominees. Selamat memilih semoga Anda dapat menyaksikan bagaimana komodo menjqdi penguasa di habitatnya.*** Naskah & Foto: A. Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Tari Fataele: Tari Perang Khas Nias Selatan

Selain memiliki kekayaan alam menawan menghiasi darat dan lautnya, Pulau Nias juga dibingkai dengan seni budaya yang patut untuk dinikmati. Pulau yang terletak sekira 85 mil dari Sibolga ini merupakan kepulauan yang diisi pulau-pulau kecil dan dikelilingi Samudera Hindia. Pulau Nias terbagi dalam empat kabupaten yaitu Nias Selatan, Nias Utara dan Nias Barat. Kesenian atau tradisi Pulau Nias yang mungkin sudah menjadi identitas langsung Suku Nias adalah tradisi Hombo Batu atau yang lebih dikenal dengan Lompat Batu Nias. Identitas ini kemudian menjadi barang dagangan utama pariwisata Pulau Nias karena selain menawarkan keunikan dan ketangkasan, tradisi ini juga sudah berusia tua sehingga patut untuk dilestarikan. Di Nias Selatan tradisi Lompat Batu Nias selalu dipertunjukan bersamaan dengan Tari Fataele. Tari Fataele merupakan seni tari khas Nias Selatan. Tari Fataele tidak bisa dipisahkan dengan tradisi Lompat Batu Nias, karena lahirnya berbarengan dengan tradisi Homo Batu. Dahulu kala Suku Nias sering berperang antarkampung. Biasanya pemicu perang adalah perebutan lahan atau bahkan merebut kampung orang lain. Seperti halnya sistem kepemimpinan kampung yang dipimpin seorang kepala desa atau kepala suku, dahulu setiap kampung di Nias juga dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Si'ulu yang berarti bangsawan. Kemungkinan setiap kepala suku di setiap desa merupakan keturunan bangsawan. Uniknya seiring dengan perkembangan zaman, sistem kepemimpinan ini masih tetap ada di setiap kampung Teluk Dalam. Akhirnya untuk mempertahankan kekuasaan dan kampungnya dari serangan penduduk kampung lain, setiap Si’ulu berinisiatif mengumpulkan pemuda desa untuk dilatih perperang. Jenis latihan yang diberikan oleh Si’ulu adalah dengan melatih kemampuan Lompat Batu “Hombo Batu” para pemuda. Jika mereka mampu menaklukkan batu setinggi 2 meter berbentuk prisma yang dibentuk dari tumpukan batu tersebut maka mereka dinggap mampu untuk membela dan mempertahankan kampung mereka. Jadi secara tidak langsung tradisi Lompat Batu ini terlahir dari konflik perang yang terjadi antar kampung. Untuk merayakan kelulusan pemuda dari ujian tersebut, Si’ulu akan mengadakan pesta dengan memotong babi dan kemudian diikuti dengan pengumuman pada warga kampung mengenai pasukan Fataele yang sudah terbentuk. Si’ulu ternyata membentuk pasukan Fatele tidak hanya untuk keperluan pertahanan kampung tapi juga untuk kegiatan adat seperti upacara kematian anggota keluarga Si’ulu maupun pesan adat seperti pengangkatan Si’ulu yang baru, pernikahan Si’ila dan juga penyambutan tamu kehormatan. Sampai saat ini fungsi dari pasukan Fatele masih tetap sama kecuali fungsi aslinya yaitu sebagai prajurit pertahanan kampung. Hal ini dikarenakan konflik perebutan lahan dan kampung sudah tidak ada. Dalam menarikan tarian ini, penari mengenakan pakaian warna warni terdiri dari warna hitam, kuning dan merah, dilengkapi dengan mahkota di kepala. Layaknya kesatria dalam peperangan penari juga membawa Tameng, pedang dan tombak sebagai alat pertahanan dari serangan musuh. Tameng yang digunakan terbuat dari kayu bebentuk seperti daun pisang berada di tangan kiri yang berfungsi untuk menangkis serangan musuh. Sedangkan pedang atau tombak berada di tangan kanan berfungsi untuk melawan serangan musuh. Kedua senjata ini merupakan senjata utama yang digunakan kesatria nias untuk berperang. Ketika dipertunjukkan prosesi tarian ini dipimpin seorang komando layakya prosesi dalam perang yang dipimpin oleh seorang panglima. Kemudian dia akan mengomando penari untuk membentuk formasi berjajar panjang yang terdiri dari empat jajar. Posisi komando berada di depan menghadap kearah penari. Tarian kemudian dimulai dengan gerakan kaki maju mudur sambil dihentakkan ke tanah dan menerikkan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini adalah kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan penuh semangat kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan formasi melingkar yang bertujuan untuk mengepung musuh, setelah musuh terkepung para kesatria akan dengan mudah untuk melumpuhkan mereka. Gerakan Tari Faluaya sangat dinamis, hentakan kaki yang diiringi oleh musik dan gerakan mengayunkan tombak dan pedang menggambarkan semangat dari para pejuang dalam mempertahankan kampung mereka dari serangan musuh. Tidak hanya itu saja, suara yang dikelurkan oleh para penari juga merupakan ekspresi ketangkasan dan kepahlawanan para kesatria. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa seni Tari Faluaya atau Tari Fatele ini merupakan kesenian khas Nias Selatan, oleh karena itu hanya terdapat di Nias Selatan yaitu di Tanah Dalam. Teluk Dalam merupakan kecamatan, terletak di ujung selatan Pulau nias. Jadi untuk dapat langsung menyaksikan pertunjukkan Tari Faluaya ini, Anda bisa datang langsung ke Teluk Dalam. Salah satu desa yang patut dikunjungi untuk menyaksikan tarian ini adalah Desa Baweu Mate Luwo yang dikenal dengan desa kesatria. Untuk sampai ke Kota Teluk Dalam, Anda bisa berangkat dari Sibolga dengan menggunakan kapal laut selama 10-12 jam. Ketika Anda berada di Teluk Dalam, sempatkan untuk mengunjungi destinasi wisata lain seperti Pantai Sorake dan Pantai Lagundri yang terkenal memiliki ombak cantik dan tersohor di kalangan peselancar dunia.http://www.indonesia.travel

Rabu, 04 Juni 2014

Muara Teweh Asal Nama Muara Teweh (Borneo)

Yang perlu dijelaskan lebih jauh di sini adalah bagaimana asal muasal-muasal nama Muara Teweh itu sendiri. Seacara harfiah, Tumbang berarti Muara dan Tiwei Artinya mudik dan juga identik dengan nama ikan kecil Seluang Tiwei, yang biasanya selalu mudik ke sungai Barito setiap tahun. Sebagaimana artinya, Tiwei yang berati mudik, maka Sungai Tiwei yang bermuara di Sungai Barito, arusnya mudik melawan arus Sungai Barito dan kemudian baru balik mengikuti arus ke selatan. Penyebutan Tumbang Tiwei yang kemudian menjadi Muara Teweh terjadi karena pola sebutan penyeragaman kota se Kalimantan Tengah oleh Belanda pada saat itu. Seperti halnya Tumbang Kapuas disebut Kuala Kapuas, Tumbang Kurun disebut Kuala Kurun, Tumbang Pembuang disebut Kuala Pembuang dan Tumbang Montallat disebut Muara Montallat, dan lain-lain.
Dari persfektif rumpun bahasa Dusun Barito, maka asal nama kota Tumbang Tiwei yang kemudian berubah menjadi Muara Teweh, dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam kumunitas Suku Bayan Dusun Pepas, disebut Nangei Tiwei (Nangei=Tumbang, Muara; Tiwei=Ikan Seluang Tiwei). Pada komunikasi Suku Bayan Bintang Ninggi, disebut Nangei Musini (Nangei Musini=Muara Musini). Pada Komunitas Suku Dusun Taboyan Malawaken, disebut Ulung Tiwei (Ulung Tiwei= Muara Tiwei, di mana Ulung Tiwei ini merupakan rumpun bahasa sebelah Timur/Mahakam. Misalnya, Ulung Ngiram disingkat Long Ngiram, jadi Ulung Tiwei disingkat Long Tiwei). Pada komunitas Dusun Bakumpai/Kapuas, disebutkan Tumbang Tiwei (Tumbang Tiwei= Muara Tiwei, yang kemudian oleh kolonial Belanda dimelayukan menjadi Muara Teweh). Lebih Jauh, penyebutan nama kota Muara Teweh yang berasal dari kata Tumbang Tiwei tersebut tampaknya sejalan adanya suku-suku Dusun Barito Utara, seperti dikutip dari buku “Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan”, karya Tjilik Riwut (Mantan Gubernur Kalimantan Tengah). Demikianlah, asal-usul nama kota Muara teweh dan jenis Suku Dusun Barito Utara. Kendatipun sama Dusunnya dan sama Dayaknya, akan tetapi Belanda malah membedakan sebutan Suku Dusun Barito dan Suku Dusun Kapuas-Kahayan. Suku Dusun Barito yang berdiam di Tanah Dusun (Doesen Landen), disebutnya Dusun Barito, Sedangkan Suku Dusun yang berdiam di Kapuas -Kahayan, disebutnya Dayak Kapuas Kahayan. Tak jelas, apa makna dan tendensi dari penyebutan mana yang berbeda tersebut. Pada masa lalu, banyak rumah betang sebagai tempat tinggal komunitas penduduk barito utara. Diantaranya rumah betang Lebo Lalatung Tour, Pendreh, Bintang Ninggi, Lemo, Lebo Tanjung Layen, Butong, Lanjas, Nihan, Papar Pujung dan Konut Tanah Siang (Mukeri Inas, et.al ;2004). Rumah Betang dan komunitas penduduk yang menjadi dasar cikal-bakal bagi komunitas Muara Teweh, yakni Juking Hara dan Tanjung Layen dengan beberapa ciri pertanda peninggalan sejarahnya masing-masing. Juking Hara dan daerah sekitarnya adalah tempat dikuburkannya Tumenggung Mangkusari, tempat peristiwa Bukit Bendera dan Kuburan Belanda serta tempat didirikannya benteng belanda untuk pertama kalinya Tahun 1865. Sedangkan Lebo Tanjung Layen (Lebo Tanjung Kupang) tempat kedudukan kota Muara Teweh sekarang, yakni di sekitar Masjid Jami Muara Teweh, dengan sungai Kupang yaitu sungai yang membelah Simpang Merdeka dan Simpang Perwira yang ada hingga saat ini. Diposkan oleh Ahay Cassandrawwwputramuarabarito.blogspot

Seni & Budaya Kalimantan

Tari Baksa Kembang Tari Baksa Kembang termasuk jenis tari klasik, yang hidup dan berkembang di keraton Banjar, yang ditarikan oleh putri-putri keraton. Lambat laun tarian ini menyebar ke rakyat Banjar dengan penarinya galuh-galuh Banjar. Tarian ini dipertunjukkan untuk menghibur keluarga keraton dan menyambut tamu agung seperti raja atau pangeran . Setelah tarian ini memasyarakat di Tanah Banjar, berfungsi untuk menyambut tamu pejabat-pejabat negara dalam perayaan hari-hari besar daerah atau nasional. Disamping itu pula tarian Baksa Kembang dipertunjukkan pada perayaan pengantin Banjar atau hajatan misalnya tuan rumah mengadakan selamatan. Tarian ini memakai hand propertis sepasang kembang Bogam yaitu rangkaian kembang mawar, melati, kantil dan kenanga. Kembang bogan ini akan dihadiahkan kepada tamu pejabat dan isteri, setelah taraian ini selesai ditarikan. Sebagai gambaran ringkas, tarian ini menggambarkan putri-putri remaja yang cantik sedang bermain-main di taman bunga. Mereka memetik beberapa bunga kemudian dirangkai menjadi kembang bogam kemudian kembang bogam ini mereka bawa bergembira ria sambil menari dengan gemulai. Tari Baksa Kembang memakai Mahkota bernama Gajah Gemuling yang ditatah oleh kembang goyang, sepasang kembang bogam ukuran kecil yang diletakkan pada mahkota dan seuntai anyaman dari daun kelapa muda bernama halilipan. Tari Baksa Kembang biasanya ditarikan oleh sejumlah hitungan ganjil misalnya satu orang, tiga orang, lima orang dan seterusnya. Dan tarian ini diiringi seperangkat tetabuhan atau gamelan dengan irama lagu yang sudah baku yaitu lagu Ayakan dan Janklong atau Kambang Muni. Tarian Baksa Kembang ini di dalam masyarakat Banjar ada beberapa versi , ini terjadi setiap keturunan mempunya gaya tersendiri namun masih satu ciri khas sebagai tarian Baksa Kembang, seperti Lagureh, Tapung Tali, Kijik, Jumanang. Pada tahun 1990-an, Taman Budaya Kalimantan Selatan berinisiaf mengumpul pelatih-pelatih tari Baksa Kembang dari segala versi untuk menjadikan satu Tari Baksa Kembang yang baku. Setelah ada kesepakatan, maka diadakanlah workshoup Tari Baksa Kembanag dengan pesertanya perwakilan dari daerah Kabupaten dan Kota se Kalimantan Selatan. Walau pun masih ada yang menarikan Tari Baksa Kembang versi yang ada namun hanya berkisar pada keluarga atau lokal, tetapi dalam lomba, festival atau misi kesenian keluar dari Kalimantan Selatan harus menarikan tarian yang sudah dibakukan.****** *** Arsyad Indradihttp://wwwputramuarabarito.blogspot.com Ketua/Pelatih "Galuh Marikit Dance Gruop " Banjarbaru

Mahasiswa Gayo Lues berharap ada caleg yang peduli seni dan budaya Gayo

Blangkejeren-LintasGayo.co: Mahasiswa Gayo Lues berharap pada pemilihan legislatif kali ini ada caleg yang serius dalam mengembangkan seni dan kebudayaan Gayo. Hal itu disampaikan Supri Ariu, mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh kepada LintasGayo.co Rabu (09/4/2014) pagi. Supri mengungkapkan, bahwa pada sebelumnya para pelaku seni di Gayo Lues sangat kesulitan untuk mendapatkan dukungan dalam mengembangkan kesenian Gayo. Sebelumnya banyak teman-teman pelaku seni yang mengeluhkan kurangnya dukungan terhadap bermacam pagelaran kesenian di Gayo Lues yang sifatnya mengembangkan seni. Tentunya dengan dukungan yang baik, para pemuda dan pelajar di Gayo Lues lebih termotivasi untuk berkreativitas juga semakin percaya diri dalam bekerja, terang Supri. “Semoga pada pileg kali ini bisa melahirkan wakil yang mendukung penuh kegiatan pemuda, mahasiswa, dan pelajar Gayo Lues dalam mengembangkan kesenian di negeri seribu bukit ini. Baik berupa even ataupun segala hal tentang edukasi seni Gayo,” harap Supri yang juga mantan Ketua Umum Harian Lembaga Budaya Seribu Bukit Aceh ini. (Win)http://lintasgayo.co/2014/

Selasa, 14 Januari 2014

Fenomena memelihara burung di Indonesia

"klangenan memelihara burung" Perkutut Kegemaran memelihara burung perkutut /klangenan Perkutut merupakan warisan budaya jawa yang hingga kini masih dilestarikan, hal ini dimungkinkan di dalamnya mengandung nilai-nilai ajaran yang adiluhung sifatnya. Para leluhur kita, khususnya orang Jawa, telah menempatkan burung Perkutut begitu terhormat dibanding jenis burung yang lain. Burung Perkutut dianggap punya tuah mistis yang bisa disejajarkan dengan tuah mistis pusaka (keris dan azimat lainnya). Berkaitan dengan tuah mistis Perkutut tersebut leluhur Jawa mewariskan ilmu tentang "katuranggan Perkutut"(ilmu hal ihwal perkutut). Berdasar ilmu katuranggan tersebut, bisa diketahui pengaruh burung Perkutut (yang mempunyai ciri-ciri tertentu) terhadap pemiliknya. Ada burung yang setengah dianjurkan untuk dipelihara, ada juga jenis yang tidak boleh dipelihara oleh sembarang orang. Memelihara Perkutut dulunya lebih cenderung kepada suatu klangenan. Artinya barang (dalam hal ini, burung) yang dimiliki bisa memberikan rasa senang dalam batin atau bisa mempersembahkan keindahan kepada pemiliknya. Dalam bahasa Jawa Kuno mempersembahkan keindahan istilahnya kalangon atau kalangwan. Barangkali pula kata klangenan dalam bahasa Jawa kini berasal dari kata kalangon atau kalangwan tadi. Sudah barang tentu yang bisa mempunyai klangenan pada waktu dulu adalah golongan masyarakat priyayi, berduit, atau punya kedudukan penting di tengah masyarakat. Dengan demikian pengetahuan tentang Perkutut tidak bisa merambah ke rakyat biasa. Alasannya, rakyat kebanyakan belum pas mempunyai klangenan,dikarenakan kesibukannya dalam mencari nafkah. Bagi rakyat biasa biasanya hanya sebagai penangkap burung (tukang pikat). Dikarenakan Perkutut sebagai klangenan, maka para penangkap burung memburu burung yang bagus kualitas suaranya memenuhi pesanan para priyayi yang tinggal di kota. Sebaliknya para pemelihara yang menganggap burung yang dipelihara sebagai klangenan, maka tidak terpikirkan untuk membudidayakan atau mengembang biakkan dengan cara diternak. Akibatnya Perkutut di alam bebas semakin langka yang bagus, bahkan cenderung punah. Jaman sekarang kegemaran memelihara Perkutut sebagai klangenan khas Jawa ini ,rupanya telah menular kepada etnis Tionghoa yang tinggal di bumi Jawa. Barangkali oleh orang Tionghoa yang bernaluri bisnis tinggi ,menganggap Perkutut bisa dijadikan sarana berhubungan dengan kekuasaan yang ada. Dan kalau hubungan dengan kekuasaan terjadi, maka lancarlah bisnisnya. Orang-orang Tionghoa memang sangat jeli melihat peluang bisnis. Begitu mengetahui burung Perkutut di alam bebas Indonesia mendekati kepunahan, mereka mendatangkan burung Perkutut dari Thailand. Semula Perkutut Bangkok kurang menarik bagi penggemar di Indonesia, karena suaranya kurang memenuhi selera. Kesannya hanya besar tapi tanpa lagu. Para pedagang burung Thailand (yang awalnya kebetulan juga etnis Tionghoa) sangat kreatif untuk memenuhi selera pasar di Indonesia. Disamping mereka mengekspor burung ke Indonesia, juga membeli burung dari Indonesia. Perkutut Indonesia itu kemudian disilangkan dengan Perkutut Bangkok. Bahkan persilangan begitu berkembang dengan berbagai jenis Perkutut yang ada di Asia Tenggara. Dan hasilnya burung Perkutut Bangkok yang di ekspor ke Indonesia bisa memenuhi selera penggemar di Indonesia. Sampai saat ini hubungan silang menyilang Perkutut antara Indonesia dan Thailand terus berlanjut. Maka semakin menarik dan menjadi tantangan bagi kita, Bangsa Indonesia, untuk menggeluti Budidaya Perkutut agar warisan budaya ini bisa dilestarikan. Pada awal pertama seseorang berminat untuk memelihara burung Perkutut seyogyanya berusaha memahami lebih dahulu tentang dasar suara burung Perkutut. Pada masa sekarang, bunyi yang diminati para penggemar sudah mengalami perubahan. Meskipun demikian tetap saja menggunakan 5 (lima) pokok dasar penilaian suara : 1. Suara depan : hoor, kini telah berkembang dari nilai rendah ke atas : Hoor, Klaar, Wee, Kleo, dan Klao. 2. Suara tengah : kete, berkembang dalam beberapa jenis : - telon : te , sehingga bunyinya : hoor te kuung - engkel : tete, sehingga bunyinya : hoor tete kuung - satu setengah : tetete, sehingga bunyinya : hoor tetete kuung - double : tete tete, sehingga bunyinya : hoor tete tete kuung - double setengah : tete tetete, sehingga bunyinya : hoor tete tetete kuung - triple : tete tete tete, sehingga bunyinya : hoor tete tete tete kuung 3. Suara belakang : kuung merupakan yang terbaik, dibawahnya kooo, kemudian kuuk yang terendah nilainya. 4. Irama : merupakan perpaduan suara depan, tengah, dan belakang. Yang bagus lelah atau laras (Jawa). Ketukan iramanya terdengar merdu menyentuh rasa keindahan, seolah-olah menjadi perantara antara yang ada dan suwung. Ibarat suara gamelan dalam Pathet Manyura atau Pathet 9 yang mempunyai pengaruh menenangkan. Sedang irama yang kurang baik adalah yang groyok dan rentet, suaranya mempengaruhi perasaan menjadi gelisah. 5. Dasar suara atau latar. Jenisnya beberapa macam, diantaranya : - Cowong tembus : bening merdu dan mendengung, kira-kira seperti suaranya Pavaroti atau Nyi Condro Lukito. - Cowong : merdu jangkauan suaranya sedang, Kristal : melengking tinggi dan terdengar jelas bunyi (ng). - Arum : suara sedang tanpa bunyi (ng) - Alus atau ulem (Jw.) - Kaku atau keras (atos, Jw.), belakangnya terkunci bunyi (k) : hoor kete kuuk - Tebal (Kandel) : mantap terdengarnya. - Tipis (lemah) : lirih suaranya. Perpaduan lima dasar penilaian suara tersebut yang menentukan bagus tidaknya suara Perkutut. Hal ini sulit dijelaskan dengan tulisan, maka kami anjurkan untuk mendengar langsung secara praktek kalau ada lomba atau latihan lomba. Pada dasarnya suara burung Perkutut tidak ada yang sama persis meskipun berasal dari induk yang sama. Maka memilih suara butung Perkutut untuk klangenan subyektif sekali sifatnya. Kecocokan hati setiap orang terhadap suatu jenis suara burung perkutut tidak sama. Maka suatu anjuran yang sederhana dan sekiranya bisa dijadikan pedoman adalah memilih suara burung yang cocok dengan hati dan perasaan kita masing-masing. Dengan demikian semakin mengendap kemampuan spiritual seseorang akan semakin mudah menemukan suara burung Perkutut yang sesuai dengan citarasanya. Maka bisa dipahami juga kalau pada para penghayat Spiritualisme Jawa kebanyakan juga penggemar Perkutut. Memang pada dasarnya untuk bisa memahami tentang suara Perkutut dituntut pula pemahaman tentang hidup yang selaras dan tenteram serta menjauhi semua kemungkinan persengketaan dengan siapapun termasuk dengan alam. Yang diinginkan adalah keindahan yang selaras sebagaimana kebanyakan orang Jawa berpandangan hidup. Seperti telah kami singgung bahwa dalam bahasa Jawa Kuno dikenal kata Kalangwan atau Kalangon yang artinya mempersembahkan keindahan. Dari akar kata Kalangon itulah muncul kata Klangenan yang barangkali artinya menangkap atau bergumul dengan keindahan. PERKUTUT PUTIH. Menurut wacana kejawen, perkutut putih dipercaya membawa kekuatan magis. RM Ng Prodjosudardjo yang paranormal menyebutkan sebagi burung siluman, jelmaan roh. Konon bisa membawa keberuntungan bagi yang memelihara, tak heran berung jenis ini tidak hanya diburu para hobi. tetapi juga mereka yang meyakini akan manfaat tuahnya Sayangnya perkutut putih amat sangat langka, jangankan yang sudah " kung " belum bisa apa pun asal seluruh bulunya warna putih orang sudah berani menawar dengan harga tinggi. Terlepas dari kata tidaknya, unsur magis menurut Ir. Suharno Budi Santosa, perkutut putih sebenarnya merupakan kasus penyimpangan gen. Ini kasus langka dalam khasanah perkutut. Prosentasenya sangat kecil dan belum tentu satu kasus dari seribu perkutut. Berdasarkan ciri fisik, akibat penyimpangan gen, perawakan maupun suara perkutut putih lebih jelek ketimbang perkutut biasa. Serba lebih kecil. Yang kata, perkutut putih tidak bisa ditangkarkan , karena rata-rata perkutut putih itu mandul. Mengamati kebiasaan serta perilakunyajenis perkutut ini , sebenarnya tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang mencolok dibanding perkutut normal. Sehingga kadang mengherankan, kenapa perkutut macam begini harganya bisa setinggi langit, bisa puluhan juta rupiah. Perkutut putih tidak setiap saat bisa didapat, di pasar burung trasional apalagi.!Begitu sulitnya mencari perkutut putih, sementara kenyataan permintaan pasar cukup tinggi, sering membuat orang berbuat curang, sehinga bagi pemula sulit membedakan perkutut putih asli dengan yang " sudah dipermak " Adapun sebagai acuan ciri ciri yang asli sbb: Paruhnya harus juga putih,namun agak kemerahan,kaki merah muda,bulu ekor bagian bawah walaupun segaris/se titik biasanya ada unsur warna coklat,demikian juga bulu sayap ada motif bintik bintik (blirik) transparan coklat kemerahan. Mlampahira mung sakmadya aloning nengga pradana sak eli elining toya netepi kuwajibanipun iguh pratikel ngemot budaya nyadong lan nyuwun pandongakna olehe kiyat amawa bea oleh ARIEF M.HUSEIN, S.H.

Senin, 06 Januari 2014

Menegaskan ‘Seni untuk Rakyat’

ak banyak yang tahu mengenai buku penting ini. Padahal, buku ini berusaha memberi jawaban atas salah satu polemik tua dalam sejarah umat manusia: hubungan seni dan politik. Perdebatan soal ini telah membela para seniman dan pendukungnya dalam dua kubu besar: ‘Seni untuk Seni’ versus “Seni untuk Rakyat”. Adalah Basuki Resobowo (BR), seorang maestro pelukis Indonesia, yang berusaha menjawab perdebatan itu dalam bukunya, “Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat”. Diterbitkan oleh penerbit Ombak, pada tahun 2005, tetapi kurang meluas dan kurang diketahui banyak orang. Awalnya, BR berusaha memenuhi niatnya menulis. Akan tetapi, beberapa kali niatan itu kandas di tengah jalan. Namun, tiba-tiba sebuah kejadian memaksanya harus menulis dan menjelaskan posisi. Adalah kata-kata Sudjojono, kawan seperjuangannya, yang membuat BR sangat ‘terprovokasi, menulis: “Melukis dan politik adalah dua hal yang berlainan.” Bagi BR, kata-kata Sudjojono itu ibarat “petir di siang hari”. “Setelah membaca kata-kata Sudjojono saya menjadi kaget. Ia pisahkan seni dari politik atau seni dari revolusi,” kata BR (hal. 11). BR berusaha mengingat-ingat masa lalu, tepatnya tahun 1938, ketika Sudjono dan sejumlah pelukis progressif mendirikan organisasi bernama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Saat itu, dalam kenangan BR, Sudjojono termasuk pencetus seni-rupa modern. Menurut Sudjojono, sebagai seorang seniman—sekaligus sebagai manusia Indonesia—karya seni haruslah bercorak Indonesia. Agar bisa bercorak Indonesia, maka seniman tidak boleh hidup terpisah dari rakyat. Sebab, keadaan rakyat-lah yang merupakan keadaan sesungguhnya. Karya seni pun haruslah bertolak pada keadaan rakyat itu. Inilah dasar realisme! Pemikiran Sudjojono tertancap kuat pada BR. BR masih mengingat pesan Sudjojono pada dirinya: “Bas, memang benar apa yang mereka (baca: pelarian Indonesia di Singapura) bilang. Apalagi kita sebagai seniman jangan sampai absen dan tidak ikut mengalami situasi politik yang penting dari sejarah bangsa Indonesia. Lingkungan dan masa memainkan peranan dalam terjadinya suatu karya seni, sekalipun bukan sebagai komponen yang menentukan.” (Hal. 16). BR adalah seorang marxis-tulen. Dengan demikian, cara pandangnya tentang seni pun sangat dipengaruhi marxisme. Basuki memahami cita-cita kesenian—tentu dalam cara pandang marxis—sebagai upaya membawa seni kepada paham estetika baru, yaitu melenyapkan selera borjuis yang dekaden, dan menghidupkan seni yang mengisi dan memperkaya unsur kerohanian pada golongan lebih luas pada masyarakat, yaitu massa rakyat. Inilah aliran “Seni untuk Rakyat”. (Hal. 22) Gerakan “Seni untuk Rakyat” makin menguat tatkala Sudjojono bersama seniman-seniman progressif lainnya mendirikan Seniman Indonesia Muda (SIM) pada tahun 1946. Organisasi ini, seperti diakui Basuki Resobowo, adalah embrio dari organisasi kesenian terbesar di tahun 1960an: Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Haluan “seni untuk Rakyat”, yang sudah menjiwai SIM, kemudian dikembangkan oleh Lekra menjadi gerakan “1-5-1”: politik sebagai panglima, meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kreativitas massa, realisme sosial dan romantik revolusioner, dan turun ke bawah (turba). Lukisan Telanjang Di buku kecil yang hanya 139 halaman ini, Basuki Resobowo juga berusaha menulis secerca kisah perjalanan hidupnya. Lalu, Hersri Setiawan berusaha meringkasnya lagi dalam artikel penutup berjudul “Sosok Basuki Resobowo”. Ia bercerita tentang lukisannya yang bergambar “wanita telanjang”. Basuki menuturkan, pada saat pameran lukisan pelukis SIM di Madiun, tahun 1947, lukisan tersebut diikutsertakan. Baru dua hari dipamerkan, lukisan itu sudah hilang. Rupanya, ada kelompok yang tak senang dengan lukisan itu. Dianggap merusak akhlak! Chairil Anwar, yang sempat melihat lukisan itu, mengaku terkesima. Penyair terkemuka Indonesia sampai berdiri 10 menit di depan lukisan itu. Bahkan, Ia sampai membuat puisi tentang lukisan itu: Surga. “Hebat kau, Bas, semua yang kau ceritakan ada di lukisan itu,” kata Chairil kepada Basuki. Bagi Basuki, lukisan telanjang itu merupakan bentuk “pendobrakan” terhadap kebudayaan Indonesia yang dekaden. Namun, ia mengatakan, lukisan telanjangnya berbeda dengan lukisan telanjang-nya Affandi. “Citranya bukan mendobrak budaya yang dekaden, melainkan media komunikasi high society di masyarakat eropa dan juga Indonesia,” kata Basuki. (Hal. 52) Tetap Teguh! Dalam buku itu, Basuki juga seakan menegaskan sikap politiknya tak pernah luntur: seorang marxis. Kendati, ia menerima pahit-ketir akibat pilihan politiknya itu dan membuatnya menjadi “emigran politik” di Eropa. Bahkan, ketika kawan seperjuangannya, Sudjojono, seakan berpindah-haluan, Basuki tetap memeluk erat keyakinan politiknya itu. Padahal, ia terkadang menyaksikan kisah pahit para imigran politik di luar negeri: frustasi, pertikaian, hingga perpecahan. Perjuangan memang tak mengenal kata akhir. Begitulah, pada tahun 1990-an, Basuki Resobowo masih terlibat dalam aksi politik menentang eksekusi 6 tapol PKI (Ruslan Wijayasastra dkk) di Indonesia dan berbagai aksi mendukung perjuangan anti-kediktatoran orde baru di tanah-airnya. Basuki dilahirkan di Baturaja, Palembang, Sumatera Selatan. Sebagai anak asuh seorang paman yang berpangkat “Wedana-polisi”, Basuki bisa mengenyam pendidikan di ELS (sekolah rendah anak-anak eropa). Pada tahun 1930-an, ia sempat ke jogja dan bersekolah di Taman Siswa. Tahun 1930-an itu, ia mulai mengenal dan berkenalan dengan Sudjojono. Sejak itu pula Basuki bertransformasi menjadi pelukis revolusioner. Menjelang pembacaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Basuki menggelar “aksi corat-coret”: berita tentang kemerdekaan Indonesia. Ia terilhami oleh pelukis kiri Meksiko, Diego Rivera, yang membuat propaganda melalui mural di tembok-tembok. Basuki pun melakukannya pada trem dan kereta api ekspres Jakarta-Surabaya. Dengan demikian, sebelum proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, sebagian rakyat sudah tahu Indonesia merdeka. Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20120611/memahami-seni-untuk-rakyat.html#ixzz2phI1XyxY Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook Judul buku: Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni dan Masyarakat Penulis: Basuki Resobowo Penerbit: Ombak Cetakan: April 2005 Tebal: xxii + 139 halaman ISBN: 979-3472-18-9 Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20120611/memahami-seni-untuk-rakyat.html#ixzz2phIHazHm Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

seni reyog ""obyogan"", seni rakyat jelata

reyog ponorogo pada dasarnya adalah kesenian rakyat jelata yang dipertunjukkan dihadapan rakyat dengan format yang atraktif. Istilah ""obyogan"" sendiri terbentuk dari format pertunjukan reyog yang diarak keliling desa. Dalam kondisi tertentu seperti di perempatan atau rumah pamong desa berhenti untuk ""show up"" dihadapan masyarakat desa yang sudah menunggu. Tidak ada unsur magis dan kesurupan dalam pertunjukan ini, yang ada hanya tarian dan kekuatan fisik untuk mengangkat ""dadak merak"" yang beratnya lebih dari 60 kg yang diangkat dengan menggunakan gigi. Reyog obyogan ini diselenggarakan di desa Ngloning kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo Jawa timur sebagai hiburan rakyat untuk acara bersih desa yang diadakan pemerintah desa setempatwwwfotokita.net.